Jumat, 27 Februari 2015

Kunjungan DP. MUI Kota Binjai ke- Bupati Asahan dan DP. MUI Asahan





ISLAM PEMBUKA DAN PELANCAR REZKI Oleh : SARING M PRATOMO,S.Ag


Islam sangat memperhatikan penganutnya untuk memperhatikan proses rezki yang diperolehnya, apakah didapatkan dengan cara yang halal atau haram. Salah satu ayat Al Quran membimbing kita untuk menkonsumsi rezki yang halal : “ Hai manusia konsunsilah dari apa yang terdapat di muka bumi ini yang halal dan toyyib, janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan sesungguhnya syaitan itu musuh kamu yang nyata” Qs 2 : 168
Mencari rezki sama pentingnya dengan kehidupan itu sendiri, jika kita rajin dan gigih Insya Allah kita akan sukses dan bahagia dan jika malas maka kita akan tertinggal dan men jadi beban orang lain.
Akhir-akhir ini banyak orang yang mengeluhkan masalah penghasilan atau rizki, entah karena merasa kurang banyak atau karena kurang berkah. Begitu pula berbagai problem kehidupan, mengatur pengeluaran dan kebutuhan serta bermacam-macam tuntutannya. Sehingga masalah penghasilan ini menjadi sesuatu yang menyibukkan, bahkan membuat bingung dan stress sebagian orang. Maka tak jarang di antara mereka ada yang mengambil jalan pintas dengan menempuh segala cara yang penting keinginan tercapai. Akibatnya bermunculanlah koruptor, pencuri, pencopet, perampok, pelaku suap dan sogok, penipuan bahkan pembunuhan, pemutusan silaturrahim dan meninggal kan ibadah kepada Allah untuk mendapatkan uang atau alasan kebutuhan hidup.
Mereka lupa bahwa Allah telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya sebab-sebab yang dapat mendatangkan rizki dengan penjelasan yang amat gamblang. Dia menjanjikan keluasan rizki kepada siapa saja yang menempuhnya serta menggunakan cara-cara itu, Allah juga memberikan jaminan bahwa mereka pasti akan sukses serta mendapatkan rizki dengan tanpa disangka-sangka.
Diantara sebab-sebab yang melapangkan rizki adalah sebagai berikut:

1- Takwa Kepada Allah
Takwa merupakan salah satu sebab yang dapat mendatangkan rizki dan menjadikannya terus bertambah. Allah Subhannahu wa Ta”ala berfirman, artinya, “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya.” (At Thalaq 2-3)
Setiap orang yang bertakwa, menetapi segala yang diridhai Allah dalam segala kondisi maka Allah akan memberikan keteguhan di dunia dan di akhirat. Dan salah satu dari sekian banyak pahala yang dia peroleh adalah Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dalam setiap permasalahan dan problematika hidup, dan Allah akan memberikan kepadanya rizki secara tidak terduga.
Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Allah di atas, “Yaitu barang siapa yang bertakwa kepada Allah dalam segala yang diperintahkan dan menjauhi apa saja yang Dia larang maka Allah akan memberikan jalan keluar dalam setiap urusannya, dan Dia akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari jalan yang tidak pernah terlintas sama sekali sebelumnya.”
Allah swt juga berfirman, artinya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. 7:96)

2- Istighfar dan Taubat
Termasuk sebab yang mendatang kan rizki adalah istighfar dan taubat, sebagaimana firman Allah yang mengisahkan tentang Nabi Nuh Alaihissalam ,
“Maka aku katakan kepada mereka:”Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun” niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. 71:10-12)
Al-Qurthubi mengatakan, “Di dalam ayat ini, dan juga dalam surat Hud (ayat 52,red) terdapat petunjuk bahwa istighfar merupakan penyebab turunnya rizki dan hujan.”
Ada seseorang yang mengadukan kekeringan kepada al-Hasan al-Bashri, maka beliau berkata, “Beristighfarlah kepada Allah”, lalu ada orang lain yang mengadukan kefakirannya, dan beliau menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah”. Ada lagi yang mengatakan, “Mohonlah kepada Allah agar memberikan kepadaku anak!” Maka beliau menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah”. Kemudian ada yang mengeluhkan kebunnya yang kering kerontang, beliau pun juga menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah.”
Maka orang-orang pun bertanya, “Banyak orang berdatangan mengadukan berbagai persoalan, namun anda memerintahkan mereka semua agar beristighfar.” Beliau lalu menjawab, “Aku mengatakan itu bukan dari diriku, sesungguhnya Allah swt telah berfirman di dalam surat Nuh,(seperti tersebut diatas, red)
Istighfar yang dimaksudkan adalah istighfar dengan hati dan lisan lalu berhenti dari segala dosa, karena orang yang beristighfar dengan lisannnya saja sementara dosa-dosa masih terus dia kerjakan dan hati masih senantiasa menyukainya maka ini merupakan istighfar yang dusta. Istighfar yang demikian tidak memberikan faidah dan manfaat sebagaimana yang diharapkan.

3- Tawakkal Kepada Allah
Allah swt berfirman, artinya, “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. 65:3)
Nabi saw telah bersabda, artinya, “Seandainya kalian mau bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya maka pasti Allah akan memberikan rizki kepadamu sebagaimana burung yang diberi rizki, pagi-pagi dia dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albani)
Tawakkal kepada Allah merupakan bentuk memperlihatkan kelemahan diri dan sikap bersandar kepada-Nya saja, lalu mengetahui dengan yakin bahwa hanya Allah yang memberikan pengaruh di dalam kehidupan. Segala yang ada di alam berupa makhluk, rizki, pemberian, madharat dan manfaat, kefakiran dan kekayaan, sakit dan sehat, kematian dan kehidupan dan selainnya adalah dari Allah semata.
Maka hakikat tawakkal adalah sebagaimana yang di sampaikan oleh al-Imam Ibnu Rajab, yaitu menyandarkan hati dengan sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla di dalam mencari kebaikan (mashlahat) dan menghindari madharat (bahaya) dalam seluruh urusan dunia dan akhirat, menyerahkan seluruh urusan hanya kepada Allah serta merealisasikan keyakinan bahwa tidak ada yang dapat memberi dan menahan, tidak ada yang mendatangkan madharat dan manfaat selain Dia.

4- Silaturrahim Produktif
Silaturrahim merupakan sarana yang sangat ampuh untuk membuka pintu rezki. Ada banyak hadits yang menjelaskan bahwa silaturrahim merupakan salah satu sebab terbukanya pintu rizki, di antaranya adalah sebagai berikut:
-Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, artinya, “Dari Abu Hurairah ra berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah menyambung silaturrahim.” (HR Al Bukhari)
-Sabda Nabi saw, artinya,“Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Ketahuilah orang yang ada hubungan nasab denganmu yang engkau harus menyambung hubungan kekerabatan dengannya. Karena sesungguhnya silaturrahim menumbuhkan kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta dan memperpanjang umur.” (HR. Ahmad dishahihkan al-Albani)
Yang dimaksudkan dengan kerabat (arham) adalah siapa saja yang ada hubungan nasab antara kita dengan mereka, baik itu ada hubungan waris atau tidak, mahram atau bukan mahram.

5- Infaq fi Sabilillah
Allah swt berfirman, artinya, “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. 34:39)
Ibnu Katsir berkata, “Yaitu apapun yang kau infakkan di dalam hal yang diperintahkan kepadamu atau yang diperbolehkan, maka Dia (Allah) akan memberikan ganti kepadamu di dunia dan memberikan pahala dan balasan di akhirat kelak.”
Juga firman Allah yang lain,artinya, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. 2:267-268)
Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah saw bersabda, Allah swt berfirman, “Wahai Anak Adam, berinfaklah maka Aku akan berinfak kepadamu.” (HR Muslim)

5- Berbuat Baik kepada Orang Lemah
Nabi SAW telah menjelaskan bahwa Allah akan memberikan rizki dan pertolongan kepada hamba-Nya dengan sebab ihsan (berbuat baik) kepada orang-orang lemah, beliau bersabda, artinya, “Tidaklah kalian semua diberi pertolongan dan diberikan rizki melainkan karena orang-orang lemah diantara kalian.” (HR. al-Bukhari)
Dhu”afa” (orang-orang lemah) klasifikasinya bermacam-macam, ada fuqara, yatim, miskin, orang sakit, orang asing, wanita yang terlantar, hamba sahaya dan lain sebagainya.

6- Serius di dalam Beribadah
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Allah Subhannahu wa Ta”ala berfirman, artinya, “Wahai Anak Adam Bersungguh-sungguhlah engkau beribadah kepada Ku, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kecukupan dan Aku menanggung kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukan itu maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kesibukan dan Aku tidak menanggung kefakiranmu.”
Tekun beribadah bukan berarti siang malam duduk di dalam masjid serta tidak bekerja, namun yang dimaksudkan adalah menghadirkan hati dan raga dalam beribadah, tunduk dan khusyu” hanya kepada Allah, merasa sedang menghadap Pencipta dan Penguasanya, yakin sepenuhnya bahwa dirinya sedang bermunajat, mengadu kepada Dzat Yang menguasai Langit dan Bumi.
Dan masih banyak lagi pintu-pintu rizki yang lain, seperti hijrah, jihad, bersyukur, menikah, bersandar kepada Allah, meninggalkan kemaksiatan, istiqamah serta melakukan ketaatan, yang tidak dapat di sampaikan secara lebih rinci dalam lembar yang terbatas ini. Mudah-mudahan Allah memberi kan taufik dan bimbingan kepada kita semua. Amin.

Kamis, 26 Februari 2015

Esensi Malu Dalam Kehidupan Ditulis Oleh Ir. Taufiq Umar



إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا ؛ مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَاهَادِيَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَصَفِيُّهُ وَخَلِيْلُهُ ، وَمُبَلِّغُ النَّاسِ شَرْعِهِ ، مَا تَرَكَ خَيْرًا إِلَّا دَلَّ الأُمَّةَ عَلَيْهِ ، وَلَا شَرًّا إِلَّا حَذَّرَهَا مِنْهُ ؛ فَصَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا المُؤْمِنُوْنَ عِبَادَ اللهِ : اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَرَاقِبُوْهُ جَلَّ فِي عُلَاهُ مُرَاقَبَةً مَنْ يَعْلَمُ أَنَّ رَبَّهُ يَسْمَعُهُ وَيَرَاهُ، وَاذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الدِّيْنِ العَظِيْمِ اَلَّذِيْ رَضِيَهُ جَلَّ وَعَلَا لِعِبَادِهِ وَلَا يَرْضَى لَهُمْ دِيْنًا سِوَاهُ، وَسَلُوْهُ جَلَّ فِي عُلَاهُ اَلثَّبَاتِ عَلَى الْحَقِّ وَالهُدَىْ فَإِنَّ الأُمُوْرَ بِيَدِهِ جَلَّ وَعَلَا يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ وَيُثْبِّتُ مَنْ يَشَاءُ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ :

   Marilah kita senantiasa istiqamah dalam menjaga ketakwaan kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan hendaklah kita benar-benar merasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla . Hendaknya kita senantiasa menyadari bahwa ada malaikat yang diutus Allah ‘Azza wa Jalla untuk mencatat semua amal kita. Malaikat itu senantiasa mendengar dan melihat apapun yang kita lakukan meski sangat rahasia dan tersembunyi. Janganlah sekali-kali kita berbuat kemaksiatan dengan anggapan tiada yang tahu sama sekali. Karena malaikat yang diutus oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk mengawasi selalu tahu dan terus mencatat segala perbuatan kita.
   Sifat malu termasuk diantara sifat terpuji yang sudah ditinggalkan oleh banyak orang. Padahal sifat ini bisa mendatangkan banyak kebaikan bagi orang yang bersifat dengannya serta membentenginya agar tidak terjerumus dalam perilaku buruk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Sesungguhnya rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari).
   Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa malu merupakan bagian dan cabang dari keimanan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman memiliki tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih. Yang tertinggi adalah ucapan laa ilaaha illallaah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu itu salah satu cabang dari keimanan.” (HR. Muslim).
  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertemu dengan seseorang yang sedang mengingatkan atau mencela saudaranya yang pemalu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
“Biarkan dia, karena sesungguhnya malu itu adalah sebagian dari iman.” (HR. Bukhari).
   Beberapa hadits di atas menunjukkan bahwa malu bukan suatu yang buruk, bahkan sebaliknya termasuk sifat terpuji.
   Simak juga apa yang dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah, ”Kata al-Haya’ berasal dari (satu kata dasar dengan) al-hayat (kehidupan). Oleh karena itu hujan juga disebut al-hayâ (pembawa kehidupan). Kadar rasa malu seseorang sangat tergantung dengan kadar hidupnya hati. Sedikitnya rasa malu merupakan indikasi hati dan ruhnya telah mati. Semakin hidup hati seseorang, maka rasa malunya akan semakin sempurna.”
Rasa malu itu ada dua yaitu malu kepada Allah dan malu kepada manusia.
Malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla maksudnya merasa malu dilihat Allah ‘Azza wa Jalla saat melakukan perbuatan maksiat. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالُوا : إِنَّا نَسْتَحِي يَا رَسُولَ اللَّهِ , قَالَ لَيْسَ ذَلِكَ وَلَكِنْ مَنْ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا حَوَى وَلْيَحْفَظِ الْبَطْنَ وَمَا وَعَى وَلْيَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَقَّ الْحَيَاءِ
   Hendaklah kalian benar-benar merasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla .” Para sahabat menjawab, “Kami sudah merasa malu, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Bukan itu maksudnya, akan tetapi barang siapa yang benar-benar merasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla maka dia harus menjaga kepala beserta isinya, menjaga perut beserta isinya dan dia terus mengingat kematian. Orang yang menginginkan akherat, dia pasti akan meninggalkan keindahan dunia. Barangsiapa melakukan ini berarti dia benar-benar merasa malu kepada Allah. (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
   Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan gamblang sifat orang yang tertanam rasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam lubuk hatinya. Yaitu dia terus berusaha menjaga seluruh anggota tubuhnya agar tidak berbuat dosa dan maksiat, senantiasa ingat kematian, tidak punya keinginan yang muluk-muluk terhadap dunia dan tidak terlena dengan nafsu syahwat.
   Orang yang merasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla , dia akan menjauhi semua larangan Allah ‘Azza wa Jalla dalam segala kondisi, baik saat sendiri maupun di tengah keramaian. Rasa malu seperti masuk dalam kategori ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sebuah rasa yang merupakan buah dari ma’rifatullâh ( mengenal Allah ‘Azza wa Jalla). Rasa malu yang muncul karena menyadari keagungan dan kedekatan Allah ‘Azza wa Jalla . Rasa malu yang timbul karena tahu Allah ‘Azza wa Jalla itu Maha Mengetahui terhadap semua perbuatan, yang nampak maupun yang tersembunyi dalam hati. Rasa malu seperti inilah yang masuk dalam bagian iman tertinggi bahkan menempati derajat ihsân tertinggi. Tentang ihsân, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Ihsân adalah engkau beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla seakan-akan engkau melihat-Nya, seandainya engkau tidak melihat-Nya maka Allah ‘Azza wa Jalla pasti melihatmu.”
   Di samping rasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla , kita juga harus memiliki sifat malu kepada manusia. Rasa malu ini akan mencegah kita dari perbuatan yang tidak layak dan tercela. Rasa malu membuat kita tidak suka jika aib dan keburukan kita diketahui orang lain. Oleh karena itu, orang yang memiliki rasa malu tidak akan menyeret dirinya untuk menjadi tukang cela, penyebar fitnah, tukang gunjing dan berbagai perbuatan maksiat lainnya yang nampak.
   Singkat kata, rasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla akan mencegah seseorang dari kerusakan batin, sedangkan rasa malu kepada manusia akan mencegahnya dari kerusakan lahiriah. Dengan demikian, dia akan menjadi orang yang baik secara lahir dan batin dan akan tetap baik ketika sendiri maupun di tengah khalayak ramai. Malu seperti inilah yang merupakan bagian dari iman.
Lalu bagaimana dengan orang yang tidak memiliki rasa malu? Orang yang tidak memiliki rasa malu, berarti dia tidak memiliki benteng dalam hatinya yang bisa mencegahnya dari perbuatan dosa dan maksiat. Dia akan berbuat semaunya, seakan-akan tidak ada iman yang tersisa dalam hatinya. Na’ûdzu billâh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya diantara perkataan kenabian pertama yang diketahui manusia ialah ‘Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu’.” (HR. Bukhari).
   Artinya, orang yang tidak memiliki rasa malu sedikitpun, dia pasti akan berbuat semaunya, tanpa peduli maksiat atau bukan. Karena rasa malu yang bisa mencegah seseorang dari perbuatan maksiat tidak dimiliki. Akibatnya, dia akan terus hanyut dan larut dalam perbuatan maksiat dan mungkar.
Setelah mengetahui urgensi rasa malu dan manfaatnya bagi seorang hamba, cobalah sekarang kita memperhatikan kondisi manusia saat ini. Sungguh sangat menyedihkan keadaan sebagian orang saat ini. Mereka telah mencampakkan rasa malu sampai seakan tidak tersisa sedikitpun dalam diri mereka, sehingga akibatnya berbagai kemungkaran menjamur di mana-mana; aurat yang semestinya ditutup malah dipertontonkan; perbuatan amoral dilakukan terang-terangan; rasa cemburu pada pasangan sirna. Tindakan asusila nan hina dianggap baik dan dibanggakan. Ketika ini dipermasalahkan, banyak orang sontak membelanya. Sungguh ironis, tapi inilah realita.
   Di antara indikasi pudarnya rasa malu dan menipisnya rasa cemburu pada hati sebagian laki-laki adalah mempekerjakan wanita bukan mahramnya atau wanita kafir sebagai pembantu, sehingga khalwat ditengah keluarganya tidak terhindarkan. Ada juga sebagian orang yang mempekerjakan laki-laki bukan mahramnya sebagai supir untuk keluarganya. Mereka relakan keluarga mereka berduaan dengan orang lain di rumah, di kendaraan, di tempat wisata dan lain sebagainya. Akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Kemanakah rasa cemburu dan rasa malu mereka ?
Termasuk tanda hilangnya rasa malu dari sebagian wanita pada zaman ini yaitu mereka membuka hijab dan jilbab mereka. Aurat yang seharusnya mereka tutupi, justru mereka pertontonkan kepada khalayak ramai. Mereka keluar rumah dengan dandanan menor, pakaian minim, berbagai hiasan dan aksesoris yang menarik perhatian menempel di tubuh mereka serta tak ketinggalan aroma semerbak yang bisa menggait lawan jenisnya. Sorot mata jalang yang seharusnya membuatnya risih dan malu, justru semakian menimbulkan rasa bangga. Na’udzu billah
Kemanakah rasa malu yang merupakan bagian dari iman seseorang?
   Mudah-mudahan Allah Ta’ala memberi taufik kepada kita untuk memiliki rasa maulu dengan rasa maulu yang hakiki sehingga menjadikan kita seorang muslim yang berkepribadian luhur. Baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia.
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا شَأْنَنَا كُلَّهُ ، وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِ المُسْلِمِيْنَ أَيْنَمَا كَانُوْا عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى ، وَاجْمَعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الْحَقِّ وَالْهُدَى ،
(Diangkat dari al-Khutab al-Mimbariyah, 4/99-104) [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1431H/2010.

BEKERJA DAN HARGA DIRI SEORANG MUSLIM Ditulis Oleh : DRS.SABARHATI NDRURU,M.M

           Sebagai Agama yang mengantarkanhidup manusia kepada kesejahteraan dunia dan akhirat, lahir dan bathin, Islam telah  membentang dan merentangkan, pola hidup yang ideal dan praktis. Pola hidup Islam tersebut dengan jelas dalam Alquran dan terurai dengan sempurna dalam sunnah Rasulullah SAW.
            Dengan Ruh iman yang berdekap mesra dalam dada. Maka setiap muslim menghadapi dua medan aspek memprodusir kebaikan atau amal sholeh sebanyak banyaknya, yang meliputi aspek ibadah dan muamalah (budaya sosial, ekonomi, dan lain lain) yang lazim diformulasikan ”Hablun minnallah” dan “Hablunminannas “.
            Dengan ibadah seseorang berhubungan dengan Allah secara vertical menyembah kepadanya dengan penuh takut dan cinta sesuai dengan contoh-contoh dan garis-garis sunnah Rasulullah. Aspek ibadah inilah yang mewarnai dan memberikan penghayatan kepada aspek muamalah agar berjalan terarah  pada jalan yang diridhoi Allah
            Lapangan muamalah dimana manusia  berhubungan  secara horizontal antara satu dengan yang lainnya dalam lapangan ekonomi.sosial kemasyarakatan, dan nilai nilai dalam rangka memenuhimhajat hidup didunia fana ini. Saling tolong menolong dan bantu membantu dan saling menerima dan saling memberi yang dalam doktrin islam mempunyai aturan aturan dan etos kerja yang wajib dipatuhi dan dipedomani.
            Dalam uraian ini  saya ingatkan kedua lapangan kebaikan tersebut dikerjakan dan digarap seimbang yang memungkinkan seseorang hidup berbahagia LAHIR DAN BATHIN.
            Prinsip ini dicanangkan dalam firman Allah “ Tuntutlah kebahagiaan yang disediakan Allah di akhirat kelak, tetapi jangan melupakan kebahagiaan didunia, (suaah SAlqoshosh,ayat 77)
Untuk mencapai kebahagiaan yang dijanjikan Allah haruslah manusia rajin bekerja dan berbuat yang sungguh sungguh yang dapat mengantarkan kepada cita cita tersebut.Sungguh  banyak ayat ayat yang bertebaran dalam Alquran yang mengundang manusia agar bermain dan  mendorong  mereka rajin bekerja.Dorong dorongan tersebut  antara lain tercermin  dengan banyaknya perkataan amal sholeh yang bergandengan dengan iman.
            Menurut lughot, amal sholeh dapat diartikan  perbuatan atau pekerjaan yang baik, dengan dorongan dorongan tersebut mak seyogianyalah  umat islam umat yang paling ulet  dan rajin bekerja dan berbuat kebaikan baik berhubungan dengan ibadah maupun muamalah.
            Semua itu dilakukan untuk memprodusir kebaikan dan kebajikan dengan sebanyak banyaknya dalam rangka mendapatkan Ridho Allah Swt, dalam Alquran di kemukakan “ Laki-laki akan mendapat bahagian  daripada apa yang mereka  usahakan  dan wanitapun akan memperoleh kebahagiaan  daripada apa yang mereka usahakan. Mintalah kepada Allah sebahagian  dari karunianya, karena Allah  amat mengetahui tiap tiap sesuatu “ (Surah Annisa :ayat 32. )
            Sholat wajib ditunaikan pada waktunya, tetapi apabila sholat usai hendaklah seseorang bangkit bergerak terjun ke medan pencaharian nafkah  atau rezki yang disediakan Allah. “ Lantas apabila selesai sholat maka hendaklah kamu bertebaran dimuka bumi dan carilah karunia Allah dan sebutlah nama Allah sebanyak banyaknya supaya kamu memperoleh kebahagian“ surat Aljum'ah ayat 10 )
            Allah telah menyiapkan fasilitas bumi yang terhampar luas  ini untuk digarap sebaik baiknya dan manusia telah dibekali dengan perlengkapan otot dan otak,  atau jasmani dan rohani. Diungkapkan dalam Alquran “ dialah yang telah menjadikan bumi  yang mudah digunakan untuk kepentingan kamu. Maka berjalanlah keapda penjuru penjurunya dan makanlah sebagian dari rezkinya dan kepada  Allah tempat kembali “. Surat Al Mulk,ayat 15 ).
Berjalan pada penjuru penjuru bumi maksudnya agar fasilitas alam  yang tersedia ini digarap digali dan diolah dengan segala  kerajinan, supaya bila dinikmati hasilnya dengan baik seraya mensyukuri nikmat Allah atas dasar pengertian  bahwa suatu saat kita akan kembali kepadanya. Pada ayat lain ditandaskan “Dia (Allah ) telah menciptakan  kamu dari bumi  dan menjadikan kami sebagai  pemamurnya“ Surat Hud ayat 61 ). Sejauhmanakah umat islam menggapai amanat tersebut, jawabnya ialah  umat islam harus menerimanya dengan pengertian dan tanggung jawab bahwa alam yang luas terbentang ini harus digarap dan diolah  sebagimana mestinya. Untuk itu umat islam  seharusnya menjadi umat yang paling rajin  dibanding umat lain.
            Setelah jelas bagi  kita  begitu nyaringnya himbauan Alquran supaya umat Islam menjadi ummat yang rajin, cekatan dan tangkas  bekerja guna memprodusir kebaikan dan kebajikan sebanyak banyaknya.  Maka baiklah kita tinjai pandangan hadis Nabi SAW, dalam salah satu riwayat dikemukakan bahwa,Rasul pernah memperingatkan “Apabila kamu telah selesai  mengerjakan semabhyang fajar (sholat  subuh ) maka janganlah kamu tidur lantaran malas mencari rezekimu “ HR.Tabrani ).
            Kemalasan  adalah salahsatu penyakit aatau sifat qobihah yang perlu dijauhi dalam diri, jangan sampai menyelinap  yang mengakibatkan kerugian  dan kemunduran pribadi . dalam hubungan ini rasullullah mengajarkan Dalam salahsatu doa yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud Ra. “Aku mohon perlindungan kepadamu ya Allah  daripada kegelisahan dan duka cita,  dan aku meohon perlindungan kepadamu daripada kelemahan dan kemalasan  dan aku mohon perlindungan kepadamu dari sifat PENGECUT DAN KIKIR, DAN AKU MOHON PERLINDUNGAN KEPADAMU daripada tumpakkan hutang dan tekanan manusia. “
Kemalasan dan perasaan lemah diri,  tidak bisa berbuat apa apa  adalah sifat  dan sikap mazmumah  (tercela) dalam pandangan etika Islam, karena itu sifat tersebut perlu di enyahkan, baik melalui penyadaran diri sendiri atau mawas diri maupun dengan langsung memohon kepada Allah Swt, agar sifat sifat mazmumah  tersebut dijauhkan dari pribadi kita.  Sebagai kebalikannya kita dikehendaki  rajin bekrja seraya  memohon kekuatan  rohani dan jasmani dari Allah Swt, sebagaimana diajarkan dalam Alquran,  “ Wahai tuhanku  masukanlah  aku melalui  temapt masuk yang benar, dan keluarkan aku melalui temapt keluar yang benar, dan berilah aku dari sisi engkau kekuatan yang dapat menolong. “ (surat Al Isra;80). Dengan memperhatikan kalimat dalam doa tersebut,  nyatalah bahwa kebenaran perlu dipertahankan ssebagai nilai hidup dan agar umat islam hendaknya berusaha memiliki kekuatan (shultan yang dengan ini dapat melipatgandakan kekuatan dan kemampuan kerja.
            Memang demikian kenyataannya tiada yang dapat diharapkan  dari ummat yang lemah  kecuali hasil kerja dan budaya yang kerdil. Kelemahan MENTAL DAN FISIK, KELEMAHAN HATI, OTAK,  DAN OTOT tidak  mampu menghasilkan amal kebajikan yang berkualitas tinggi.
            Betapa pentingnya kekuatan itu dimliki, karena manusia manusia  kuat tentu lebih baik dan lebih produktif disbanding dengan manusia manusia lemah sesuai dengan pernyataan Rasulullah Saw, “ Mukmin yang kuat lebih di sukai Allah  daripada mukmin yang lemah, sekalipun masing masing ada kebaikan, Berkeinginan keraslah keapda sesuatu  yang memberi manfaat dan mintalah pertolongan  kepada Allah dan janganlah bersifat lemah” HR.Muslim.
Jelaslah bahwa Insan insan muslim  pperlu memiliki kekuatan fisik  dan mental dan supaya rajin  bekerja untuk kebaikan, dalam Hadis lain ditandaskan “Sesungguhnya Allah tellah mewajibkan  kamu berusaha  maka oleh sebab itu maka hendaklah  kamu rajin berusaha “ HR Tabrani.
Perkataan Rasullah dipraktekannya sendiri dalam kehidupan sehari hari,  yang btercermin dalam ketekunannya beribadah dan  kerajinan bekerja bagi kepentingan rumah tangga dan ummatnya.
Azzubaeir Al awwam mewartakan bahwa Rasulullah Saw, pernah mengatakan,  “ Sekiranya salah seorang diantara kamu membawa kamu membawa tali kemudian  pergi kebukit mencari kayu kemudian dipikul kepasar untuk dijual,  yang dengan itu ia menutup air mukanya, maka yang demikian itu  lebih baik daripada minta minta kepada orang,  baik mereka memberi atau menolak, “ (HR.Bukhori ).
Juga sebagai manusia teladan rajin bekerja ialah nabi Daud, As yang menghasilkan  pelbagai kerajinan tangan yang membuahkan rejki untuk nafkah sehari hari. Kerajina tersebut Ptut disuriteladani sesuai dengan pernyataan Rasulullah Saw, “Tiada seseorang makan makanan yang lebh baik daripada hasil  tangannya sendiri,  sesungguhnya Nabi Daud As, makan dari hasil usaha tangannya sendiri “ (HR.Bukhori). selanjutnya di hadis lainya “ Bekerja mencari rezki yang halal itu wajib bagi setiap muslim, “ (HR.Tabrani )
            Ternyata bahwa diantara Nabi Nabi Allah  tidak hanya menjadi Insan teladan  dalam segi Ibadah, tetapi juga dari segi kerajinan berusaha. Nabi Zakaria As. Adalah sebagai tukang kayu (Annajjar) tekun bekerja pada waktunya dan disamping kekhusuannya dalam berdoa, dan berzikir didalam mihrab.
            Tiada pekerjaan yang lebih hina  disisi para Nabi,  kecuali yang  dilarang Allah SWT,. Nabi menerangkan Bahwa tidaklah Allah membangkitkan seorang Nabi melainkan telah menjadi penggembala kambing,. Seorang sahabat bertanya tentang pengalaman Nabi sendiri “Nabi menerangkan  bahwa beliau sendiripun  pernah menjadi pengembala kambing milik penduduk mekkah  yang mendapat bayaran beberapa  Qirath".
Wallahu a’lam. Wassalam