Rabu, 25 Februari 2015

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM AL-GHAZALI Oleh : Juriadi, S.Ag., S.Pd.I, MA


PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM AL-GHAZALI
Oleh : Juriadi, S.Ag., S.Pd.I, MA

A.  Riwayat Hidup Al-Ghazali
            Al-Ghazali hidup pada abad ke-5 Hijriyah atau abad ke-10 Masehi, ini berarti beliau hidup pada masa Daulah Abbasiyah. Namanya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, lahir pada tahun 450 H/ 1058 M di Thus (wilayah Khurasan).[1] Atau lebih tepatnya lagi di Ghazaleh, kota kecil di Thus Khurasan. Al-Ghazali wafat di Tabristan wilayah propinsi Thus pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/1 Desember 1111 M.[2]
            Al-Ghazali berasal dari keluarga sederhana. Sepeninggal ayahnya yang bekerja sebagai pemintal benang, ia dan saudaranya Ahmad tumbuh menjalani kehidupannya dalam kesederhanaan bersama dengan seorang sufi teman ayahnya selama kurang lebih 15 tahun. Suatu ketika  karena sufi tersebut tidak mampu lagi menghidupi al-Ghazali dan Ahmad, maka keduanya dimasukkan ke sekolah. Selama lima tahun yakni 465-470 H al-Ghazali belajar ilmu fiqh dan ilmu-ilmu dasar lainnya kepada Ahmad al-Radzkani di Thus dan dari Abu Nashr al-Isma’ili di Jurjan. Kemudian al-Ghazali kembali ke Thus lagi, dan selama tiga tahun di Thus ia mengkaji ulang pelajarannya di Jurjan sambil belajar tasawuf  kepada Yusuf al-Nassaj.[3]
            Tahun 473 H al-Ghazali pergi ke Naisabur untuk belajar di madraasah al-Nizhamiyah dan di sana ia berkenalan dengan Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwaini, seorang ulama yang bermadzhab Syafi’i yang pada saat itu menjadi guru besar di Naisyafur atau Naisabur, salah satu kota pusat ilmu pengetahuan. Dari al-Juwaini inilah al-Ghazali belajar ilmu kalam dan mantiq.[4]
            Dari latar belakang ini nampak bahwa al-Ghazali adalah seorang ilmuwan dengan wawasan luas. Ratusan karangannya menunjukkan kecendekiaannya. Namun akhirnya, al-Ghazali memilih sufi sebagai jalan untuk mencapai kebenaran hakiki. Dengan sufisme pula ia memakai sebagai pisau analisis dalam membedah berbagai permasalahan yang ada. Al-Ghazali dipandang sebagai figur yang pemersatu kaum sufi dan fuqoha. Hal ini terlihat secara jelas dalam karya besarnya Ihya' Ulum al-Diin yang menujukkan bahwa tasawuf bukanlah pemisahan antara syariat dan hakekat. Karyanya Tuhaful al-Falasifah dan Maqosid al-Falasifah memuat tentang keberatan al-Gazali pada filosof. Hal ini dilakukan dalam kerangka menjaga akidah umat agar tidak tercampuri apa yang di anggapnya pemikiran asing seperti pemikiran Yunani yang "berbau kafir".

B.  Pemikiran Pendidikan Islam Al-Ghazali
1.   Tujuan Pendidikan
            Adapun menurut Samsul Nizar, corak pemikiran pendidikan al-Ghazali dapat dilihat dari bukunya Fatihatal Kitab, Ayyuha al-Walad, Ihya ‘Ulum al-Din. Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri pada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat serta menurutnya pendidikan adalah transinternalisasi ilmu, dan proses pendidikan merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran islam, memelihara jiwa, dan taqarrub ila Allah, sehingga pendidikan merupakan ibadah dan upaya peningkatan kualitas diri.[5]
            Begitu pula dengan Abuddin Nata yang memahami pendidikan menurut al-Ghazali adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk kebahagiaan dunia akhirat. Namun, ia menambahkan bahwa Al-Ghazali lebih menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Selain itu ia memahami bahwa al- Ghazali memahami kehidupan sebagai kehidupan sesaat sekaligus menunjukkan kezuhudan al-Ghazali. Dalam masalah pendidikan al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada orang tua dan orang yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni, laksana permata yang sangat berharga sederhana dan bersih dari gambaran apapun.[6]
            Al-Ghazali mengatakan jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu dibiasakan melakukan perbuatan buruk dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek. Pentingnya pendidikan ini didasarkan kepada pengalaman hidup al-Ghazali sendiri, yaitu sebagai orang yang tumbuh menjadi ulama besar yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan, yang disebabkan karena pendidikan. Tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan diarahkan bukan pada mendekatkan diri pada Allah SWT, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan.
                Lebih lanjut Samsul Nizar merumuskan tujuan pendidikan dari pemahamannya terhadap pemikiran al-Ghazali, yakni:
      a.    Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah.
        b.    Tujuan utama pendidikan Islam adalah akhlakul karimah.
      c.    Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.[7]

2.   Konsep Pendidik
            Abuddin Nata telah merumuskan ciri-ciri pendidik yang  boleh melaksana-kan pendidikan menurut al-Ghazali yang dikutipnya dari tulisan Arifin, yakni:
      a.   Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri.
     b.  Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya (mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Saw sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
   c.   Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
   d.   Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
     e.   Di hadapan muridnya, guru harus memberikan contoh yang baik, sepertiberjiwa halus, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji lainnya.
         f.    Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
       g.   Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola dimata anak muridnya.
      h.   Guru harus memahami minat, bakat, dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya.
      i.    Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak didiknya tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu.[8]

3.   Kurikulum
            Menurut pandangan  al-Ghazali, ilmu dapat dilihat dari dua segi, yaitu ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Dari segi pertama, al-Ghazali membagi ilmu menjadi ilmu hissiyat, ilmu aqliyah, dan ilmu ladunni. Ilmu hissiyah diperoleh manusia melalui penginderaan, sedangkan ilmu aqliyah diperoleh melalui kegiatan berpikir (akal), sedangkan ilmu ladunni diperoleh langsung dari Allah tanpa melalui proses penginderaan atau pemikiran (nalar) melainkan melalui hati.[9]
                Sejalan dengan itu al-Ghazali mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan yangharus dipelajari di sekolah. Ilmu pengetahuan tersebut adalah:
      a.    Ilmu al-quran dan ilmu agama seperti fiqh, hadits, tafsir 
   b.    Sekumpulan bahasa, nahwu, dan makhraj seta lafadz-lafadznya, karena ilmu ini berfungsi membantu ilmu agama
        c.     Ilmu-ilmu fardlu kifayah, yaitu ilmu keokteran, matematika, teknologi yang beraneka macam jenisnya, termasuk juga ilmu politik 
      d.    Ilmu kebudayaan seperti sya’ir, sejarah, dan beberapa cabang filsafat.[10]


[1] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2002. h. 85
[2] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005. h. 209
[3] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. h. 77-78
[4] Abuddin Nata, Op. Cit. h. 209
[5] Samsul Nizar, op. cit, h. 87
[6] Abuddin Nata, op. cit, h. 211-213
[7] Samsul Nizar, op. cit, h. 87
[8] Abuddin Nata, op. cit, h. 213-214, mengutip tulisan M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 1, 1991, h. 87
[9] Jalaluddin dan Umar Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996. h. 140
[10] Abuddin Nata, op. cit, h. 217

Tidak ada komentar:

Posting Komentar