PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM AL-GHAZALI
Oleh : Juriadi, S.Ag., S.Pd.I, MA
A. Riwayat
Hidup Al-Ghazali
Al-Ghazali hidup pada abad ke-5 Hijriyah atau abad ke-10
Masehi, ini berarti beliau hidup pada masa Daulah Abbasiyah. Namanya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad
al-Ghazali, lahir pada tahun 450 H/ 1058 M di Thus (wilayah Khurasan).[1] Atau
lebih tepatnya lagi di Ghazaleh, kota kecil di Thus
Khurasan. Al-Ghazali wafat di Tabristan wilayah propinsi Thus pada 14
Jumadil Akhir tahun 505 H/1 Desember 1111 M.[2]
Al-Ghazali berasal dari
keluarga sederhana. Sepeninggal ayahnya yang bekerja sebagai pemintal benang,
ia dan saudaranya Ahmad tumbuh menjalani kehidupannya dalam kesederhanaan
bersama dengan seorang sufi teman ayahnya selama kurang lebih 15 tahun. Suatu ketika karena sufi tersebut tidak
mampu lagi menghidupi al-Ghazali dan Ahmad,
maka keduanya dimasukkan ke sekolah. Selama lima tahun yakni 465-470 H al-Ghazali
belajar ilmu fiqh dan ilmu-ilmu dasar lainnya kepada Ahmad al-Radzkani di Thus
dan dari Abu Nashr al-Isma’ili di Jurjan. Kemudian al-Ghazali kembali ke Thus
lagi, dan selama tiga tahun di Thus ia mengkaji ulang pelajarannya di Jurjan
sambil belajar tasawuf kepada Yusuf al-Nassaj.[3]
Tahun 473 H al-Ghazali pergi
ke Naisabur untuk belajar di madraasah al-Nizhamiyah dan di sana ia berkenalan dengan Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwaini,
seorang ulama yang bermadzhab Syafi’i yang pada saat itu menjadi guru besar di
Naisyafur atau Naisabur, salah satu kota
pusat ilmu pengetahuan. Dari al-Juwaini inilah al-Ghazali belajar ilmu kalam
dan mantiq.[4]
Dari latar
belakang ini nampak bahwa al-Ghazali adalah seorang ilmuwan dengan wawasan
luas. Ratusan karangannya menunjukkan kecendekiaannya. Namun akhirnya,
al-Ghazali memilih sufi sebagai jalan untuk mencapai kebenaran hakiki. Dengan sufisme pula ia
memakai sebagai pisau analisis dalam membedah berbagai permasalahan yang ada. Al-Ghazali dipandang sebagai figur yang pemersatu kaum sufi
dan fuqoha. Hal ini terlihat secara jelas dalam karya besarnya Ihya' Ulum
al-Diin yang menujukkan bahwa tasawuf bukanlah pemisahan antara syariat dan
hakekat. Karyanya Tuhaful al-Falasifah dan Maqosid al-Falasifah
memuat tentang keberatan al-Gazali pada filosof. Hal ini dilakukan dalam kerangka
menjaga akidah umat agar tidak tercampuri apa yang di anggapnya pemikiran asing
seperti pemikiran Yunani yang "berbau kafir".
B. Pemikiran
Pendidikan Islam Al-Ghazali
1. Tujuan
Pendidikan
Adapun
menurut Samsul Nizar, corak pemikiran pendidikan al-Ghazali dapat dilihat dari
bukunya Fatihatal Kitab, Ayyuha al-Walad, Ihya ‘Ulum al-Din. Al-Ghazali
berpendapat bahwa pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan
diri pada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat serta menurutnya
pendidikan adalah transinternalisasi ilmu, dan proses pendidikan merupakan
sarana utama untuk menyiarkan ajaran islam, memelihara jiwa, dan taqarrub ila Allah, sehingga pendidikan merupakan ibadah dan upaya peningkatan kualitas diri.[5]
Begitu pula dengan Abuddin Nata yang memahami
pendidikan menurut al-Ghazali adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
untuk kebahagiaan dunia akhirat. Namun, ia menambahkan bahwa Al-Ghazali lebih
menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Selain itu ia memahami
bahwa al- Ghazali memahami kehidupan sebagai kehidupan sesaat sekaligus
menunjukkan kezuhudan al-Ghazali. Dalam masalah pendidikan al-Ghazali lebih
cenderung berpaham empirisme. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat
menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya, seorang anak tergantung
kepada orang tua dan orang yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih,
murni, laksana permata yang sangat berharga sederhana dan bersih dari gambaran
apapun.[6]
Al-Ghazali mengatakan jika anak menerima
ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya
jika anak itu dibiasakan melakukan perbuatan buruk dan dibiasakan kepada
hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek. Pentingnya
pendidikan ini didasarkan kepada pengalaman hidup al-Ghazali sendiri, yaitu
sebagai orang yang tumbuh menjadi ulama besar yang menguasai berbagai ilmu
pengetahuan, yang disebabkan karena pendidikan. Tujuan pendidikan adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan
uang. Karena jika tujuan diarahkan bukan pada mendekatkan diri pada Allah SWT,
akan dapat menimbulkan kedengkian,
kebencian, dan permusuhan.
Lebih
lanjut Samsul Nizar merumuskan tujuan pendidikan dari pemahamannya terhadap
pemikiran al-Ghazali, yakni:
a. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan
semata-mata untuk ilmu itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah.
b. Tujuan utama pendidikan Islam adalah
akhlakul karimah.
c. Tujuan pendidikan Islam adalah
mengantarkan peserta didik kepada kebahagiaan
dunia dan akhirat.[7]
2. Konsep
Pendidik
Abuddin
Nata telah merumuskan ciri-ciri pendidik yang
boleh melaksana-kan pendidikan menurut al-Ghazali yang dikutipnya dari
tulisan Arifin, yakni:
a. Guru
harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri.
b. Guru jangan mengharapkan
materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya (mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Saw
sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan
ilmu yang diajarkannya.
c. Guru
harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk
kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri
kepada Allah swt.
d. Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu
yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
e. Di hadapan muridnya, guru harus memberikan
contoh yang baik, sepertiberjiwa halus,
lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji lainnya.
f. Guru harus mengajarkan
pelajaran yang sesuai dengan intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
g. Guru
harus mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola dimata anak
muridnya.
h. Guru harus memahami minat, bakat, dan jiwa anak
didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan
terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya.
i. Guru harus dapat
menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak didiknya tersebut
akan dijiwai oleh keimanan itu.[8]
3. Kurikulum
Menurut
pandangan al-Ghazali, ilmu dapat dilihat dari dua segi, yaitu ilmu sebagai
proses dan ilmu sebagai obyek. Dari
segi pertama, al-Ghazali membagi ilmu menjadi ilmu hissiyat, ilmu aqliyah,
dan ilmu
ladunni. Ilmu hissiyah diperoleh manusia melalui penginderaan, sedangkan ilmu aqliyah diperoleh melalui kegiatan berpikir (akal), sedangkan ilmu ladunni diperoleh
langsung dari Allah tanpa melalui proses
penginderaan atau pemikiran (nalar) melainkan melalui hati.[9]
Sejalan
dengan itu al-Ghazali mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan yangharus
dipelajari di sekolah. Ilmu pengetahuan tersebut adalah:
a. Ilmu
al-quran dan ilmu agama seperti fiqh, hadits, tafsir
b. Sekumpulan bahasa,
nahwu, dan makhraj seta lafadz-lafadznya, karena ilmu ini berfungsi membantu ilmu agama
c. Ilmu-ilmu fardlu kifayah, yaitu ilmu
keokteran, matematika, teknologi yang beraneka macam jenisnya, termasuk juga
ilmu politik
d. Ilmu kebudayaan seperti
sya’ir, sejarah, dan beberapa cabang filsafat.[10]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar