MUSIK DAN NYANYIAN
- Pengantar
Sebagaimana
yang kita saksikan ketika ini bahwa bagitu beragamnya jenis musik dan begitu
beragamnya syair-syair yang dilantunkan dalam sebuah nyanyian. Lain lagi bentuk
penyajian musik dan nyanyian, tempat dan penampilan yang bermain musik dan yang
bernyanyi. Ada yang secara jelas melanggar aturan-aturan hukum Islam, tetapi
ada juga yang secara nyata tidak dan bahkan ada yang terasa religi (bernuansa
keagamaan). Musik dan nyanyian yang melanggar aturan-aturan hukum Islam seperti
mempertontonkan aurat, mengundang nafsu birahi, hura-hura tidak diragukan
keharamannya. Yang dipermasalahkan di sini adalah musik dan nyanyian yang
secara nyata tidak melanggar garisan-garisan hukum Islam, atau bahkan musik dan
nyanyian yang bernuansa religi (keagamaan).
- Hukum Musik dan nyanyian
Masalah
musik dan nyanyian ini telah menjadi perbincangan di kalangan para ulama.
Sebagian ulama berpendapat bahwa musik dan nyanyian adalah terlarang. Sebagian
ulama pula mengatakan bahwa musik dan nyanyian adalah mubah (boleh).
Di antara
alasan ulama-ulama yang melarang atau bahkan mengharamkan musik dan nyanyian
adalah karena musik dan nyanyian itu dapat mengantarkan orang kepada hal-hal
yang dilarang oleh syari’at Islam, seperti melalaikan baik dari mengingat Allah
dalam artian berzikir atau dalam artian beribadah. Atau bahkan dapat
mengantarkan orang kepada kemaksiatan.
Kemudian
firman Allah dalam surah Luqman ayat 6.
“Dan di antara
manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak berguna untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan
Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”.
Al-Qurthubi,
sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab, menjadikan ayat di atas sebagai
salah satu dari tiga ayat yang dijadikan dasar oleh ulama memakruhkan dan
melarang nyanyian. Al-Qurthubi menyebutkan nama-nama Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dan
Ibnu ‘Abbas ra., Ketiga orang sahabat Nabi saw ini serta sekalian banyak ulama
lain yang memahami kata lahw al-hadits
dalam arti nyanyian. Ibnu Mas’ud kata Al-Qurthubi bersumpah tiga kali
menyatakan bahwa kata al-lahw di sini adalah nyanyian.
Ayat kedua
yang dijadikan dasar pelarangan nyanyian adalah surah Al-Isra’ ayat 64:
“Dan hasunglah
siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah
terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan
berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka.
dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan
belaka”.
Maksud
ayat ini ialah Allah memberi kesempatan kepada iblis untuk menyesatkan manusia
dengan segala kemampuan yang ada padanya. tetapi segala tipu daya syaitan itu
tidak akan mampu menghadapi orang-orang yang benar-benar beriman.
Ayat
ketiga adalah surah An-Najm ayat 61:
“Sedang kamu melengahkan(nya)?”
Memang
kebanyakan ulama abad kedua dan ketiga Hijriah, khususnya yang berkecimpung
dalam bidang hukum mengharamkan musik. Imam Abu Hanifah memandang bahwa
mendengar nyanyian termasuk dosa. Imam Syafi’i misalnya menegaskan bahwa
diharamkan permainan dengan nard (alat musik yang terbuat dari batang
kurma) dan bahwa tertolak kesaksian seorang yang memiliki budak wanita kemudian
mengumpulkan orang mendengarkan nyanyiannya.
Alasan
ulama yang mengatakan mubah (boleh) adalah: Pertama, tidak ada ayat atau
hadits yang secara jelas dan tegas melarang musik dan nyanyian. Karena itu
dapat dipakai kaedah yang menegaskan bahwa asal segala sesuatu itu adalah boleh
(ibahah) hingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Di samping itu,
musik dan nyanyian itu sesungguhnya sesuai dengan fitrah dan naluri manusia.
Bukankah, misalnya, Allah menegaskan di dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat
14:1.
Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang
ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Imam
Al-Ghazali mengatakan bahwa nyanyian dan permainan tidak diharamkan di dalam
Islam berdasarkan hadits ‘Aisyah r.a.
“Dari
‘Aisyah, sesungguhnya Abu Bakar pernah masuk kerumahnya (‘Aisyah) sedang di sampingnya ada dua orang
gadis sedang menyanyi dan memukul gendang pada hari Mina (pada Idul Adha) dan
Nabi menutup muka dengan pakaiannya, maka ke dua gadis itu diusir oleh Abu
Bakar. Maka Nabi saw membuka wajahnya dan berkata: Biarkanlah mereka itu hai
Abu Bakar, sebab hari ini adalah hari bersenang-senang. (HR. Bukhari Muslim).
Al-Ghazali,
sebagaimana yang dikutip oleh Qurasih Shihab, mengecam mereka yang mengharamkan
musik/nyanyian, walaupun dia (Al-Ghazali) mengakui adanya larangan dari Nabi,
tetapi ia mengaitkan larangan mendengarkan musik atau nyanyian itu dengan
kondisi yang menyertainya, atau dampak negatif yang dilahirkannya. Hadits Nabi
yang melarang nyanyian, antara lain adalah yang dilakukan wanita di hadapan laki-laki di bar. Ada
hadits-hadits Nabi yang shahih menunjukkan kebolehan menyanyi atau menggunakan
alat musik, antara lain bahwa ‘Aisyah ra. pernah mendengar nyanyian di rumah
Nabi, dan Nabi tidak menegurnya. Menurut Al-Ghazali, adanya izin ini
menunjukkan bolehnya menyanyi. Al-Marhum Muhammad Syaltut, mantan pemimpin
tertinggi Al-Azhar Mesir, dalam fatwanya menegaskan bahwa para ahli hukum Islam
telah sepakat tentang bolehnya nyanyian guna membangkitkan kerinduan
melaksanakan haji, semangat bertempur, serta dalam peristiwa-peristiwa gembira,
seperti lebaran, perkawinan dan sebagainya. Adapun selain itu, memang
diperselisihkan. Tetapi semua alasan untuk melarangnya – selama tidak menimbulkan
dampak negatif, tidak dapat dibenarkan.
Quraish
Shihab berargumentasi: “Agama Islam, memperkenalkan dirinya antara lain sebagai
agama yang sejalan dengan fitrah/naluri/kecenderungan bawaan manusia, sehingga
tidak mungkin ada suatu pun ajarannya yang bertentangan dengan fitrah. Salah
satu fitrah itu adalah kecenderungan manusia kepada keindahan, baik berupa
pemandangan alam, keindahan wajah, aroma yang harum, dan tentu termasuk juga
suara yang merdu. Tuhan tidak mungkin menciptakan itu dalam diri manusia
kemudian Dia mengharamkannya’.
Menurut
pandangan penulis bahwa musik dan nyanyian itu bisa menjadi haram, tergantung
motivasi (niat) dan bagaimana musik dan nyanyian itu ditampilkan dan
diperdengarkan. Jika musik dan nyanyian
itu untuk dakwah, ditampilkan dan diperdengarkan dengan menjaga semua
ketentuan-ketentuan syariat, dengan akhlak yang mulia, maka tidak haram. Tetapi
jika untuk hura-hura, melanggar ketentuan-ketentuan syari’at, seperti
mempertontonkan aurat, mesum, membangkitkan birahi, tidak berakhlak, maka tidak
diragukan hukumnya haram.
Memang
dalam masalah ini, terjadi juga perbincangan para ulama jika nyanyian itu
dilantunkan oleh perempuan. Apakah suara perempuan itu termasuk aurat atau
tidak. Sebagian ulama mengatakan aurat dan sebagian yang lain mengatakan tidak.
Penulis cenderung mengatakan bahwa suara perempuan itu dasarnya bukanlah aurat.
Tetpi jika suara itu dilenggak lenggokkan dengan maksud menimbulkan birahi,
maka itu jelas hukumnya haram.
[1] Penjelasan lebih lanjut tentang hal
ini dapat dirujuk dalam buku Muhammad
Syaltut, Al-fatwa, h. 409-410.
[2]
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), vol.
11, h. 115
[3]
Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, h. 115
[4]
Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, vol. 11, h. 115
[5]
Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, vol. 11. h. 115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar