Senin, 16 Februari 2015



MUSIK DAN NYANYIAN

  1. Pengantar

Sebagaimana yang kita saksikan ketika ini bahwa bagitu beragamnya jenis musik dan begitu beragamnya syair-syair yang dilantunkan dalam sebuah nyanyian. Lain lagi bentuk penyajian musik dan nyanyian, tempat dan penampilan yang bermain musik dan yang bernyanyi. Ada yang secara jelas melanggar aturan-aturan hukum Islam, tetapi ada juga yang secara nyata tidak dan bahkan ada yang terasa religi (bernuansa keagamaan). Musik dan nyanyian yang melanggar aturan-aturan hukum Islam seperti mempertontonkan aurat, mengundang nafsu birahi, hura-hura tidak diragukan keharamannya. Yang dipermasalahkan di sini adalah musik dan nyanyian yang secara nyata tidak melanggar garisan-garisan hukum Islam, atau bahkan musik dan nyanyian yang bernuansa religi (keagamaan). 

  1. Hukum Musik dan nyanyian

Masalah musik dan nyanyian ini telah menjadi perbincangan di kalangan para ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa musik dan nyanyian adalah terlarang. Sebagian ulama pula mengatakan bahwa musik dan nyanyian adalah mubah (boleh).
Di antara alasan ulama-ulama yang melarang atau bahkan mengharamkan musik dan nyanyian adalah karena musik dan nyanyian itu dapat mengantarkan orang kepada hal-hal yang dilarang oleh syari’at Islam, seperti melalaikan baik dari mengingat Allah dalam artian berzikir atau dalam artian beribadah. Atau bahkan dapat mengantarkan orang kepada kemaksiatan.
Kemudian firman Allah dalam surah Luqman ayat 6.



“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”.
           
Al-Qurthubi, sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab, menjadikan ayat di atas sebagai salah satu dari tiga ayat yang dijadikan dasar oleh ulama memakruhkan dan melarang nyanyian. Al-Qurthubi menyebutkan nama-nama Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas ra., Ketiga orang sahabat Nabi saw ini serta sekalian banyak ulama lain yang memahami kata lahw al-hadits  dalam arti nyanyian. Ibnu Mas’ud kata Al-Qurthubi bersumpah tiga kali menyatakan bahwa kata al-lahw di sini adalah nyanyian.
Ayat kedua yang dijadikan dasar pelarangan nyanyian adalah surah Al-Isra’ ayat 64:
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka”.
Maksud ayat ini ialah Allah memberi kesempatan kepada iblis untuk menyesatkan manusia dengan segala kemampuan yang ada padanya. tetapi segala tipu daya syaitan itu tidak akan mampu menghadapi orang-orang yang benar-benar beriman.
Ayat ketiga adalah surah An-Najm ayat 61:
“Sedang kamu melengahkan(nya)?”
Memang kebanyakan ulama abad kedua dan ketiga Hijriah, khususnya yang berkecimpung dalam bidang hukum mengharamkan musik. Imam Abu Hanifah memandang bahwa mendengar nyanyian termasuk dosa. Imam Syafi’i misalnya menegaskan bahwa diharamkan permainan dengan nard (alat musik yang terbuat dari batang kurma) dan bahwa tertolak kesaksian seorang yang memiliki budak wanita kemudian mengumpulkan orang mendengarkan nyanyiannya.
Alasan ulama yang mengatakan mubah (boleh) adalah: Pertama, tidak ada ayat atau hadits yang secara jelas dan tegas melarang musik dan nyanyian. Karena itu dapat dipakai kaedah yang menegaskan bahwa asal segala sesuatu itu adalah boleh (ibahah) hingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Di samping itu, musik dan nyanyian itu sesungguhnya sesuai dengan fitrah dan naluri manusia. Bukankah, misalnya, Allah menegaskan di dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 14:1.        
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
            Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa nyanyian dan permainan tidak diharamkan di dalam Islam berdasarkan hadits ‘Aisyah r.a.
            “Dari ‘Aisyah, sesungguhnya Abu Bakar pernah masuk kerumahnya  (‘Aisyah) sedang di sampingnya ada dua orang gadis sedang menyanyi dan memukul gendang pada hari Mina (pada Idul Adha) dan Nabi menutup muka dengan pakaiannya, maka ke dua gadis itu diusir oleh Abu Bakar. Maka Nabi saw membuka wajahnya dan berkata: Biarkanlah mereka itu hai Abu Bakar, sebab hari ini adalah hari bersenang-senang.  (HR. Bukhari Muslim).
            Al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Qurasih Shihab, mengecam mereka yang mengharamkan musik/nyanyian, walaupun dia (Al-Ghazali) mengakui adanya larangan dari Nabi, tetapi ia mengaitkan larangan mendengarkan musik atau nyanyian itu dengan kondisi yang menyertainya, atau dampak negatif yang dilahirkannya. Hadits Nabi yang melarang nyanyian, antara lain adalah yang dilakukan wanita  di hadapan laki-laki di bar. Ada hadits-hadits Nabi yang shahih menunjukkan kebolehan menyanyi atau menggunakan alat musik, antara lain bahwa ‘Aisyah ra. pernah mendengar nyanyian di rumah Nabi, dan Nabi tidak menegurnya. Menurut Al-Ghazali, adanya izin ini menunjukkan bolehnya menyanyi. Al-Marhum Muhammad Syaltut, mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar Mesir, dalam fatwanya menegaskan bahwa para ahli hukum Islam telah sepakat tentang bolehnya nyanyian guna membangkitkan kerinduan melaksanakan haji, semangat bertempur, serta dalam peristiwa-peristiwa gembira, seperti lebaran, perkawinan dan sebagainya. Adapun selain itu, memang diperselisihkan. Tetapi semua alasan untuk melarangnya – selama tidak menimbulkan dampak negatif, tidak dapat dibenarkan.
            Quraish Shihab berargumentasi: “Agama Islam, memperkenalkan dirinya antara lain sebagai agama yang sejalan dengan fitrah/naluri/kecenderungan bawaan manusia, sehingga tidak mungkin ada suatu pun ajarannya yang bertentangan dengan fitrah. Salah satu fitrah itu adalah kecenderungan manusia kepada keindahan, baik berupa pemandangan alam, keindahan wajah, aroma yang harum, dan tentu termasuk juga suara yang merdu. Tuhan tidak mungkin menciptakan itu dalam diri manusia kemudian Dia mengharamkannya’.
            Menurut pandangan penulis bahwa musik dan nyanyian itu bisa menjadi haram, tergantung motivasi (niat) dan bagaimana musik dan nyanyian itu ditampilkan dan diperdengarkan. Jika musik dan nyanyian  itu untuk dakwah, ditampilkan dan diperdengarkan dengan menjaga semua ketentuan-ketentuan syariat, dengan akhlak yang mulia, maka tidak haram. Tetapi jika untuk hura-hura, melanggar ketentuan-ketentuan syari’at, seperti mempertontonkan aurat, mesum, membangkitkan birahi, tidak berakhlak, maka tidak diragukan hukumnya haram.
Memang dalam masalah ini, terjadi juga perbincangan para ulama jika nyanyian itu dilantunkan oleh perempuan. Apakah suara perempuan itu termasuk aurat atau tidak. Sebagian ulama mengatakan aurat dan sebagian yang lain mengatakan tidak. Penulis cenderung mengatakan bahwa suara perempuan itu dasarnya bukanlah aurat. Tetpi jika suara itu dilenggak lenggokkan dengan maksud menimbulkan birahi, maka itu jelas hukumnya haram.





[1] Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini dapat dirujuk dalam buku  Muhammad Syaltut, Al-fatwa, h. 409-410. 
[2] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), vol. 11, h. 115
[3] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 115
[4] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,  vol. 11, h. 115
[5] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11. h. 115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar