‘MENJARIYAHKAN’ SEDEKAH
Oleh H. Mardiatos
Tanjung, Lc[1]
Sedekah jariyah merupakan ibadah
yang paling mulia, lebih banyak pahala dan manfaatnya dibandingkan dengan
sedekah biasa. Jika sedekah biasa, maka harta yang disedekahkan itu akan habis
jika telah dibagikan. Namun sedekah jariyah, harta yang disedekahkan tersebut
tetap utuh karena yang dibagikan adalah hasil atau manfaatnya. Maka sedekah
jariyah tersebut terus mengalir manfaat dan pahalanya sekalipun orang yang
bersedekah telah meninggal dunia.
Rasulullah saw bersabda:
إذا
مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاثة : صدقة جارية ، أو علم يُنْتَفَعُ به ، أو
ولد صالح يدعو له». أخرجه مسلم وأبو داود والترمذي والنسائي.
“Apabila seorang manusia meninggal dunia maka terputuslah
amalannya kecuali tiga: Sedekah jariyah, ilmu yang diajarkan, atau anak shaleh
yang mendoakannya.” (HR. Muslim, abu Daud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa`i).
Sedekah jariyah ini kemudian
diistilahkan sebagian para ulama dengan wakaf. Dalam kitab Mu’jam
al-Mushthalahat, disebutkan bahwa wakaf itu adalah “Asalnya tetap, tetapi
manfaatnya terus mengalir”. Pengertian ini sama dengan pengertian sedekah
jariyah. Sedekah jariyah itu bias berupa barang bergerak ataupun barang tidak
bergerak. Seperti tanah, perkebunan, peralatan, dan lain sebagainya.
Dalam sejarah, Umar bin Khattab
ra pernah mewakafkan kebun kurma yang dimilikinya di daerah Khaibar Madinah.
Kebun kurma tersebut masih mengalir hasilnya untuk santunan fakir-miskin sampai
saat sekarang ini.
عن ابن عمر من رواية نافع أيضاً عنه عن عمر أنه قال
أصبت أرضاً من أرض خيبر فأتيت رسول الله {صلى الله عليه وسلم} فقلت أصبت أرضاً لم
أصب مالاً أحب إلي ولا أنفس عندي منها فقال إن شئت تصدقت بها فتصدق بها عمر على
ألا تباع ولا توهب في الفقراء وذوي القربى وفي الرقاب والضيف وابن السبيل ولا جناح
على من وليها أن يأكل بالمعروف غير متمول مالاً ويطعم. أخرجه البخارى ومسلم
والترمذي والنسائي.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra
bahwa Umar bin Khattab memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia dating
kepada nabi saw untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata: “Wahai
Rasulullah, saya memperoleh tanah di Khaibar yang belum pernah saya peroleh
harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut. Apa perintahmu (kepadaku)
mengenainya ? Nabi saw menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu
sedekahkan (hasil)-nya.” Ibnu Umar berkata: maka Umar menyedekahkan tanah
tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan,
dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya kepada fuqara, kerabat,
riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak
berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu
secara ma’ruf (wajar) dan member makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya
sebagai harta hak milik. (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasa`i).
Ada juga hal yang menarik dalam
sejarah di Mesir. Bahwa sebuah mesjid yang kekayaannya pernah melebihi
kekayaan Negara. Bahkan negara Mesir
pernah meminjam bantuan ke mesjid ketika mengalami krisis. Itulah mesjid
al-Azhar. Umat Islam di saat itu, mampu memberdayakan sedekah dengan membeli
ladang-ladang kurma, ladang gandum, membangun rumah sakit, pabrik-pabrik, dll.
Dari keuntungannya, mereka bias membangun sekolah, universitas, memberikan
beasiswa, menggaji para ulama dan imam, santunan secara rutin kepada fakir
miskin, serta membuka lapangan kerja bagi fakir miskin. Kebesaran al-Azhar
tersebut, seolah menjadi seperti kerajaan dalam sebuah negara Mesir. Sehingga
negara tidak akan mampu membuat kebijakan strategis kecuali setelah mendapat
persetujuan al-Azhar.
Orang-orang yang dulu bersedekah
untuk mesjid al-Azhar mungkin tidak menyangka bahwa apa yang mereka sedekahkan
menjadi sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir. Keberhasilan mesjid
al-Azhar ini ternyata menginspirasi banyak mesjid di Mesir untuk ‘menjariyahkan’
sedekah. Sehingga banyak kita temukan mesjid-mesjid di sana yang membuat usaha produktif
dari sedekah umat yang berhasil mereka kumpulkan. Seperti mesjid Rab’ah al-’Adawiyah
Mesir yang di sampingnya berdiri dengan megah rumah sakit Rab’ah al-‘Adawiyah. Mesjid
Bilal bin Rab’ah Madinah yang menyewakan kios-kios dagangan sekitar mesjid. Bahkan
ada mesjid as-Salam Mesir yang terkenal dengan pengumumannya “tidak menerima
infak dan sedekah”, memiliki gedung serba guna di sampingnya. Awalnya mesjid
yang membiayai usaha-usaha tersebut, tetapi kemudian usaha-usaha tersebutlah
yang akhirnya membiayai operasional mesjid.
Ini adalah contoh terbaik bagi
para pengurus mesjid untuk mampu ‘menjariyahkan’ sedekah umat. Sedekah itu
tidak hanya habis untuk operasional mesjid, tetapi mereka mampu memberdayakannya
dengan membuat usaha produktif yang memberikan keuntungan bagi mesjid dan umat.
Seperti menyediakan gedung serba guna, menyewakan peralatan walimah, depot air,
klinik, perkebunan, dll.
Sedekah jariyah itu juga seharusnya
lebih diutamakan manfaatnya bagi orang-orang yang masih hidup, bukan hanya
untuk orang-orang yang sudah meninggal dunia. Contohnya adalah tanah wakaf yang
dimiliki umat. Para pengurus mesjid bisa memberdayakan tanah wakaf tersebut
untuk orang yang hidup. Sebagiannya bisa ditanami dengan tanaman produktif atau
lahan pertanian. Bahkan untuk tanah wakaf yang berada di tempat-tempat
strategis, bias dibangun kios-kios pedagang atau rumah-rumah sewa. Semua
keuntungannya bisa digunakan untuk operasional mesjid, menyantuni fakir miskin,
bahkan bisa untuk membeli tanah wakaf yang baru. Bahkan IDB (Islamic
Development Bank) menyediakan milyaran bantuan untuk pengolahan tanah-tanah
wakaf menjadi lahan usaha produktif.
Jangan sampai tanah wakaf tersebut dibiarkan kosong dan
tidak diberdayakan. Sebab Rasululah saw bersabda:
من أحيا أرضا ميتة فله بها أجر وما أكلت العوافي
فله بها أجر .أخرجه
النسائي.
“Barang siapa yang
menghidupkan tanah yang mati, maka baginya pahala. Dan apa yang dimakan para
pekerja dari hasilnya (sebagai upah), maka ia (yang menghidupkan tanah itu)
mendapat pahala sedekah darinya.” (HR. An-Nasa`i).
Jika para pengurus mesjid
memiliki niat yang ikhlas karena Allah dengan mengutamakan musyawarah dan kerja
sama, maka ibadah menjariyahkan sedekah tersebut bias terwujud dan mampu
berperan dalam memakmurkan mesjid. Bukan saja mereka mendapatkan pahala yang
berlipat ganda, tapi mereka telah berperan dalam meningkatkan ekonomi mesjid
dan umat. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar