Rabu, 25 Februari 2015

‘MENJARIYAHKAN’ SEDEKAH' Oleh H. Mardiatos Tanjung, Lc


‘MENJARIYAHKAN’ SEDEKAH
Oleh H. Mardiatos Tanjung, Lc[1]
Sedekah jariyah merupakan ibadah yang paling mulia, lebih banyak pahala dan manfaatnya dibandingkan dengan sedekah biasa. Jika sedekah biasa, maka harta yang disedekahkan itu akan habis jika telah dibagikan. Namun sedekah jariyah, harta yang disedekahkan tersebut tetap utuh karena yang dibagikan adalah hasil atau manfaatnya. Maka sedekah jariyah tersebut terus mengalir manfaat dan pahalanya sekalipun orang yang bersedekah telah meninggal dunia.
Rasulullah saw bersabda:
إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاثة : صدقة جارية ، أو علم يُنْتَفَعُ به ، أو ولد صالح يدعو له». أخرجه مسلم وأبو داود والترمذي والنسائي.
“Apabila seorang manusia meninggal dunia maka terputuslah amalannya kecuali tiga: Sedekah jariyah, ilmu yang diajarkan, atau anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim, abu Daud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa`i).
Sedekah jariyah ini kemudian diistilahkan sebagian para ulama dengan wakaf. Dalam kitab Mu’jam al-Mushthalahat, disebutkan bahwa wakaf itu adalah “Asalnya tetap, tetapi manfaatnya terus mengalir”. Pengertian ini sama dengan pengertian sedekah jariyah. Sedekah jariyah itu bias berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak. Seperti tanah, perkebunan, peralatan, dan lain sebagainya.
Dalam sejarah, Umar bin Khattab ra pernah mewakafkan kebun kurma yang dimilikinya di daerah Khaibar Madinah. Kebun kurma tersebut masih mengalir hasilnya untuk santunan fakir-miskin sampai saat sekarang ini.
عن ابن عمر من رواية نافع أيضاً عنه عن عمر أنه قال أصبت أرضاً من أرض خيبر فأتيت رسول الله {صلى الله عليه وسلم} فقلت أصبت أرضاً لم أصب مالاً أحب إلي ولا أنفس عندي منها فقال إن شئت تصدقت بها فتصدق بها عمر على ألا تباع ولا توهب في الفقراء وذوي القربى وفي الرقاب والضيف وابن السبيل ولا جناح على من وليها أن يأكل بالمعروف غير متمول مالاً ويطعم. أخرجه البخارى ومسلم والترمذي والنسائي.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Umar bin Khattab memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia dating kepada nabi saw untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, saya memperoleh tanah di Khaibar yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut. Apa perintahmu (kepadaku) mengenainya ? Nabi saw menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.” Ibnu Umar berkata: maka Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan member makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik. (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasa`i).
Ada juga hal yang menarik dalam sejarah di Mesir. Bahwa sebuah mesjid yang kekayaannya pernah melebihi kekayaan  Negara. Bahkan negara Mesir pernah meminjam bantuan ke mesjid ketika mengalami krisis. Itulah mesjid al-Azhar. Umat Islam di saat itu, mampu memberdayakan sedekah dengan membeli ladang-ladang kurma, ladang gandum, membangun rumah sakit, pabrik-pabrik, dll. Dari keuntungannya, mereka bias membangun sekolah, universitas, memberikan beasiswa, menggaji para ulama dan imam, santunan secara rutin kepada fakir miskin, serta membuka lapangan kerja bagi fakir miskin. Kebesaran al-Azhar tersebut, seolah menjadi seperti kerajaan dalam sebuah negara Mesir. Sehingga negara tidak akan mampu membuat kebijakan strategis kecuali setelah mendapat persetujuan al-Azhar.
Orang-orang yang dulu bersedekah untuk mesjid al-Azhar mungkin tidak menyangka bahwa apa yang mereka sedekahkan menjadi sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir. Keberhasilan mesjid al-Azhar ini ternyata menginspirasi banyak mesjid di Mesir untuk ‘menjariyahkan’ sedekah. Sehingga banyak kita temukan mesjid-mesjid di sana yang membuat usaha produktif dari sedekah umat yang berhasil mereka kumpulkan. Seperti mesjid Rab’ah al-’Adawiyah Mesir yang di sampingnya berdiri dengan megah rumah sakit Rab’ah al-‘Adawiyah. Mesjid Bilal bin Rab’ah Madinah yang menyewakan kios-kios dagangan sekitar mesjid. Bahkan ada mesjid as-Salam Mesir yang terkenal dengan pengumumannya “tidak menerima infak dan sedekah”, memiliki gedung serba guna di sampingnya. Awalnya mesjid yang membiayai usaha-usaha tersebut, tetapi kemudian usaha-usaha tersebutlah yang akhirnya membiayai operasional mesjid.
Ini adalah contoh terbaik bagi para pengurus mesjid untuk mampu ‘menjariyahkan’ sedekah umat. Sedekah itu tidak hanya habis untuk operasional mesjid, tetapi mereka mampu memberdayakannya dengan membuat usaha produktif yang memberikan keuntungan bagi mesjid dan umat. Seperti menyediakan gedung serba guna, menyewakan peralatan walimah, depot air, klinik, perkebunan, dll.
Sedekah jariyah itu juga seharusnya lebih diutamakan manfaatnya bagi orang-orang yang masih hidup, bukan hanya untuk orang-orang yang sudah meninggal dunia. Contohnya adalah tanah wakaf yang dimiliki umat. Para pengurus mesjid bisa memberdayakan tanah wakaf tersebut untuk orang yang hidup. Sebagiannya bisa ditanami dengan tanaman produktif atau lahan pertanian. Bahkan untuk tanah wakaf yang berada di tempat-tempat strategis, bias dibangun kios-kios pedagang atau rumah-rumah sewa. Semua keuntungannya bisa digunakan untuk operasional mesjid, menyantuni fakir miskin, bahkan bisa untuk membeli tanah wakaf yang baru. Bahkan IDB (Islamic Development Bank) menyediakan milyaran bantuan untuk pengolahan tanah-tanah wakaf menjadi lahan usaha produktif.
Jangan sampai tanah wakaf tersebut dibiarkan kosong dan tidak diberdayakan. Sebab Rasululah saw bersabda:
من أحيا أرضا ميتة فله بها أجر وما أكلت العوافي فله بها أجر .أخرجه النسائي.
“Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka baginya pahala. Dan apa yang dimakan para pekerja dari hasilnya (sebagai upah), maka ia (yang menghidupkan tanah itu) mendapat pahala sedekah darinya.” (HR. An-Nasa`i).
Jika para pengurus mesjid memiliki niat yang ikhlas karena Allah dengan mengutamakan musyawarah dan kerja sama, maka ibadah menjariyahkan sedekah tersebut bias terwujud dan mampu berperan dalam memakmurkan mesjid. Bukan saja mereka mendapatkan pahala yang berlipat ganda, tapi mereka telah berperan dalam meningkatkan ekonomi mesjid dan umat. Wallahu a’lam.





[1] Alumni univ. al-Azhar Mesir, pengurus MUI kota Binjai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar